Menerima pemotretan WEDDING CERRMONY PRE WEDDING WISUDA EVENT BIRTHDAY MODEL PRODUCT DLL CONTACT US 081368052602 PIN 2BC87F83 DISKON 30% SELAMA PROMOSI TRUST US TO CAPTURE YOUR SPECIAL MOMENT AND BRING OUT YOUR IMAGINATION TO REAL IMAGE

Thursday, October 18, 2012

Ingin Beasiswa, Berbuatlah Curang

Berbagai Demo sering dilakukan Mahasiswa Untuk Transparansi Beasiswa dikampus-kampus Indonesia

Opini Oleh : Didi Wirayuda 
Mahasiswa Public Relations UIN SUSKA RIAU
Beasiswa dewasa ini menjadi kebutuhan  bagi hampir semua kalangan mahasiswa, baik mahasiswa berprestasi, kurang mampu, atau mahasiswa pura-pura kurang mampu,  dalam teorinya beasiswa  untuk meningkatkan akses dan pemerataan kesempatan belajar di perguruan tinggi bagi anak bangsa, serta mengurangi jumlah mahasiswa yang putus kuliah dikarenakan tidak mampu dalam hal biaya. Ini juga berguna untuk meningkatkan prestasi dan motivasi mahasiswa, di bidang akademik atau non akademik. Beasiswa mestinya bisa memutus tali kemiskinan dalam suatu keluarga, misalkan suatu keluarga tidak mampu,dan  memiliki anak yang akademiknya bagus, maka akan dibiayai kuliahnya melalui program beasiswa Sistem pendidikan nasional yang di atur oleh Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 bab V pasal 12 (1,c), yang mengatakan setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa (BS) bagi yang berprestasi dan orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan. Juga Pasal 12 (1,d) menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.


Hal ini dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan, bagian kelima, pasal 27 ayat (1), menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya. Pasal 27 ayat (2) juga menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberi beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi. Harapannya, nanti dengan bantuan beasiswa tersebut mahasiswa yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena terbentur biaya, dapat kuliah lagi, dengan bantuan yang diberikan.

Harusnya seperti itu, akan tetapi faktanya di Indonesia, hal ini tidak terlaksana dengan baik, karena mahasiswa berprestasi dan tidak mampu yang harusnya jadi pertimbangan  prioritas pertama, harus bersaing dengan mahasiswa yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan bantuan tersebut, ini disebabkan kurang jelasnya standarisasi penerima beasiswa, kurang jelinya jurusan merekomendasikan calon penerima beasiswa dan dugaan “main mata” mahasiswa dengan oknum pegawai. Padahal begitu banyak beasiswa yang ada diluar sana, mulai Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA), Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM), Beasiswa Bank Indonesia, Beasiswa Yayasan Supersemar, Beasiswa Yayasan Santoso, Beasiswa Sampoerna Foundation, Beasiswa Bidik Misi, Beasiswa Dipa dan masih banyak lainnya.

Akan tetapi beasiswa yang harusnya menjadi bantuan untuk mempermudah pendidikan, justru menjadi permasalahan baru bagi kalangan mahasiswa hampir diseluruh Universitas yang ada di Indonesia, mulai beasiswa yang tidak tepat sasaran, so­sialisasi yang kurang, rumitnya mengurus persyaratan, pungutan-pungutan liar, calo-calo beasiswa, pemalsuan surat miskin, Nepotisme, serta di perparah dengan rumor beasiswa dijadikan alat menjaga kekuasaan rektor. Dalam arti setiap mahasiswa penerima beasiswa dilarang untuk berdemonterasi mengkritisi Rektor. Ini sama saja dengan menjual idelisme mahasiswa, mahasiswa yang harusnya menjadi Agent Of Control, pengawas kebijakkan menjadi apatis ketika ada penyelewengan, karena mahasiswa tersebut sudah menggadaikan harga dirinya kepada Rektor.

 Belum lagi calo-calo beasiswa, Endang seorang oknum calo berstatus mahasiswi disalah satu kampus di Indonesia, bercerita kepada saya tentang permasalahan ini, ia menuturkan pengalamannya sebagai calo. Ia mempunyai keluarga di bagian rektorat, dan disuruh mencari mahasiswa yang ingin beasiswanya dicairkan, Katanya dari pada uangnya kembali ke Departemen agama (Depag), lebih bagus dibagi-bagi buat mahasiswa. “Saya setuju saja. Soalnya bisa sekalian bantu teman-teman saya yang belum dapat. Mulai sejak itu saya jadi calo” Katanya.

Syarat beasiswanya seperti biasa. Setelah Ia mendapatkan nama-nama yang mau mengurus, syarat-syaratnya tadi ia antarkan kepada saudaranya di rek­torat. “Iden­titas­nya nggak bisa saya kasih tahu. Takut nanti ber­masalah” Katanya. Habis itu mereka yang urus semuanya. 

Ada juga bia­sanya lewat fakultas, ditanya dulu ke  Pembantu Dekan III fakultas. Apa masih ada kuota yang bersisa. Agar tidak keta­huan, biasanya pihak fakultas,  harus menunggu semua bahan beasiswa dari semua fakultas sampai ke rektorat. Baru bisa dimainkan “orang dalam” Kata Endang.  Sampai sekarang ia sudah bantu puluhan bahkan ratusan mahasiswa. “ kata orang dalam”,” selama masih ma­hasiswa dikampus tersebut bisa di urus lewat “bela­kang.” Katanya.

Setelah beasiswa Rp 1,2 juta itu cair lewat rekening, ma­hasiswa yang ia bantu tadi, memberikan uang nya, sesuai dengan perjanjian di awal. “Ada yang kasih 500, 600, kadang malah pakai sistem “belah se­mangka,” dibagi 50 persen.
Kemudian uang dari semua mahasiswa yang di bantunya tersebut ia setor lagi dengan pegawai rektorat yang membantu, barulah ia diberikan persenan,”pernah sampai 4 jutaan” Katanya.
“Orang dalam itu” ba­gian­nya lebih besar, dia ngak mau sedikit” Kata Endang.

Sangat miris dan mengecewakan bahwa hal ini sudah berlangsung sejak lama, dan mungkin disemua kampus ada, tetapi belum terungkap. Kenapa Benih kejahatan inte­lektual ini tumbuh subur di kampus-kampus Indonesia yang men­junjung tinggi nilai kejujuran kepada mahasiswanya. 

Menurut Jean Baudrillard, seorang filsuf Perancis, yang melakukan penelitian terhadap kasus ini,
mendapatkan tipologi kejahatan yang sis­tematis dan terorganisir, salah satunya kasus kejahatan ala para intelektual, dan ini sebagai kejahatan yang sempurna.  Karena tindak kejahatan seperti ini sangat tertata rapi, terkontrol dan tersembunyi, sehingga tidak tercium baunya. Karena mereka yang melakukan kejahatan ini adalah para intelektual civitas aka­demika kampus yang dipercaya sebagai ladang moral generasi bangsa.  Ini sebuah potret buruknya mental bangsa kita  

 Hal ini dikuatkan dengan data Indonesian Corruption Watch (ICW) yang penulis ambil lewat detiknews.com, terbitan Senin 6 Februari 2012. Sepanjang tahun 2011 terdapat 436 kasus korupsi dan sektor pendidikan justru menjadi lahan paling subur. Menurut ICW. Tingginya kasus korupsi di sektor pendidikan adalah hal baru. Karena di tahun 2010, sektor yang paling tinggi angka korupsinya adalah sektor infrastruktur dengan 85 kasus. Kedua sektor keuangan daerah sebanyak 82 kasus dan pendidikan 47 kasus. Keadaan ini harus menjadi sorotan serius, karena sektor pendidikan memperoleh porsi yang paling besar dari APBN. “Untuk beberapa sektor strategis belum ada korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Sektor pendi­di­kan ini harus benar-benar diawa­si,” imbuhnya.

 Transpransi terhadap beasiswa itu harusnya ada disetiap kampus, kurangnya informasi tentang beasiswa menjadi alasan tumbuh berkembangnya kecurangan ini. Peran kampus dalam mensosialisasikan adanya beasiswa menjadi faktor utama. Memang keaktifan mahasiswa juga menjadi faktor yang penting. Tapi kurangnya sosialisasi dari pihak kampus menjadi hambatan bagi mahasiswa yang berhak untuk mendapatkan beasiswa, lantaran quotanya sudah penuh dengan mahasiswa yang pura-pura miskin tadi. 

Terkesan kalau informasinya hanya untuk kalangan tertentu saja. Biasanya kampus berdalih bahwa sosialisasi beasiswa tidak boleh terlalu terbuka dan provokatif karena dikhawatirkan akan membuat orang – orang yang sebenarnya tidak berhak mendapat beasiswa akan ikut mendaftarkan diri bahkan mendapatkannya. Akan tetapi yang terjadi orang – orang yang sebenarnya berhak malah tidak mendapatkan beasiswa karena kurangnya informasi. 

Harusnya proses seleksi yang diperketat, Karena bila seleksi yang dilakukan dengan benar dan menggunakan prinsip yang berkeadilan, maka dengan sendirinya orang – orang yang tidak berhak tersebut akan tereliminasi.. Malahan, sosialisasi yang dilakukan tertutup atau setengah – setengah mengindikasikan adanya proses seleksi yang kurang beres, acak – acakan, dan tidak  jelas.
 Jadi yang perlu dibenahi adalah sistem seleksi beasiswanya. Dan sebenarnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud) punya pedoman yang bagus untuk kelancaran dalam pemberian bantuan biaya pendidikan, yaitu 3T, Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, dan Tepat Waktu. Tapi kenapa dilapangan bertolak belakang dari konsep tersebut.

 Mari kita ingat kembali pada cerita zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, ketika itu terjadi kemarau panjang yang membuat rakyatnya kelaparan, Waktu itu daerah kekuasaan Umar bin Khattab  sangat luas, dengan kemarau yang sangat lama tersebut mematikan perekonomian rakyatnya. Tidak ada yang bisa dimakan, dan tidak ada pula yang bisa ditanam, karena kehidupan bergantung dengan air, yang merupakan sumber kehidupan bagi semua mahluk tuhan. Rakyat Umar bin Khattab mulai resah dengan kelaparan yang menghantam kehidupan mereka, hanya ada satu tempat yang masih tersedia makanan pada masa itu, yaitu pusat pemerintahan yang ada dikota tempat sahabat nabi ini berkuasa, hal hasil semua rakyat yang tinggal jauh dari pusat pemerintahan datang ke pada Umar  dan meminta bahan pangan. Akan tetapi, khalifah Umar mengatakan kepada rakyatnya untuk pulang dan kembali ke rumah masih-masing, “Kalian tidak usah repot-repot datang kemari,pulanglah” Katanya.

 Kemudian dihari itu juga, Umar bin khattap dan suruhannya langsung mendatangi perkampungan tersebut, untuk membagi – bagikan dan mengantarkan bahan pangan langsung kepada mereka. Hal ini di lakukan Umar guna mencari tau kebenaran dan hak jatuh ketangan yang tepat, kenapa kita tidak melakukan hal yang sama, datangi atau kenali dengan baik si penerima Beasiswa.

 Ibaratkan beasiswa ini sebuah kue, yang diberikan seorang yang dermawan, dan Ia berpesan untuk membaginya dengan adil, akan tetapi kue yang sudah di depan mata, hanya untuk membaginya saja, kita tidak bisa adil.

 Semoga polemik beasiswa yang ada dikampus kita semua, dapat terselesaikan dengan baik dan cepat agar tidak ada lagi pihak – pihak yang dirugikan. Dan untuk semua permasalahan itu harus ada i’tikad yang baik serta tindakan nyata dari sang pengambil kebijakkan (Rektorat), karena beasiswa untuk mahasiswa. Bukan lahan basah mencari keuntungan pribadi. Kita berharap ke depan kampus-kampus mem­punyai transparansi dan menanam­kan nilai kejujuran. Tidak hanya kepada mahasis­wa tapi juga pegawai. Agar prak­tek kecurangan yang nyata di depan mata, sirna di kampus-kampus kita semua, Hidup Mahasiswa.



.

No comments:

Post a Comment