Menerima pemotretan WEDDING CERRMONY PRE WEDDING WISUDA EVENT BIRTHDAY MODEL PRODUCT DLL CONTACT US 081368052602 PIN 2BC87F83 DISKON 30% SELAMA PROMOSI TRUST US TO CAPTURE YOUR SPECIAL MOMENT AND BRING OUT YOUR IMAGINATION TO REAL IMAGE

Monday, October 27, 2014

Potret Pengemis Cilik, Lampu Merah Arengka

"Sebenarnya saya ingin sekolah seperti teman teman lain, tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak mengemis saya tidak makan,"Ujarnya Agus

Laporan Didi Wirayuda
PEKANBARU

Suasana hiruk pikuk manusia begitu ramai di simpang lampu merah Arengka, dari kendaraan, pedagang asongan, pengamen dan tentunya pengemis yang berkeliaran mencari rejeki. Diantara semuanya, pengemis kecil yang mendatangi setiap kendaraan yang berhenti mencuri perhatian. Namanya Agus (9) seorang pengemis cilik di pasar pagi Arengka Panam.


Agus tinggal bersama kedua orang tuanya di sebuah kontrakan kecil di Jalan Teropong, Kelurahan Sidomulyo Barat, Kecamatan Tampan. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh lepas, sementara Ibunya ikut bekerja serabutan, mulai dari mencuci pakaian, berjualan, untuk untuk bertahan hidup. Dengan bermodalkan gitar sewaan dari temannya ia pun ikut membantu mencari nafkah di usia yang masih jauh di bawah umur. Tidak seperti teman-temannya yang lebih beruntung, Agus harus mencari uang sendiri untuk bisa makan dan biaya sekolahnya,hasilnya terkadang dapat uang 10 sampai 20 ribu, terkadang tidak dapat sama sekali.


Namun baru beberapa minggu, Ia mengumpulkan uang hasil jerih payahnya. Nasip sial menimpanya, Agus terjaring Razia Satpol PP bersama puluhan anak Punk yang mangkal di lampu merah.
"Kami dibawa ke daerah kerinci, di tempat yang sepi, kami diturunkan dan ditinggalkan begitu saja,"Ungkap Agus mengingat kejadian yang menimpanya kepada Pekanbaru Pos,Selasa (28/10).

Tak hanya itu, gitar yang ia sewa dari temannya turut di amankan. Membuat ia tak lagi bisa mengamen, berada jauh dari orang tua membuat Agus tak lagi memikirkan sekolah. Satu satunya yang ada dibenaknya hanya bagaimana kembali ke Pekanbaru. Saat itulah Agus memutuskan untuk mengemis walau batinnya menolak melakukan hal tersebut tetapi karena keadaan yang memaksa maka mau tidak mau Agus mengemis.

"Sebenarnya saya ingin sekolah seperti teman teman lain, tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak mengemis saya tidak makan,"Ujarnya pilu.
 

Salah seorang warga sekitar, Ita (58) mengaku kasihan dengan Agus dan puluhan pengemis cilik lainnya, yang setiap hari pagi hingga malam hari menadahkan tangan
dari mobil satu ke mobil yang lainnya. Belum lagi resiko kecelakaan yang menghantui bocah bocah di sekitar lampu merah Arengka ini.


"Saya suka kasihan, dan tidak habis pikir, kenapa orang tua mereka membiarkan anak anak yang seharusnya di bangku sekolah ini, untuk meminta-meminta,"Ungkapnya sembari menitikkan air mata.

Ita menceritakan banyak cara-cara yang mereka lakukan untuk menarik perhatian setiap pengendara yang lewat. Ada sesama anak kecil yang saling berpegangan tangan, yang secara tidak langsung mengatakan “Inilah saya seorang pengemis kecil, inilah saya yang miskin dan inilah adikku yang sengsara”. Ada juga seorang pengemis kecil yang menggendong adiknya, mungkin ceritanya ” Inilah saya yang fakir dan inilah adikku yang tak punya orangtua”. Begitu juga dengan seorang Ibu yang menggendong anaknya dan tunanetra yang dituntun. Semuanya menghiasi dan menambah semarak di sekitar lampu merah Arengka tersebut.

Anak anak ini, menurut Ita, sebenarnya masih memiliki orang tua, namun memang ada juga yang benar-benar tidak memiliki orang tua. Bahkan ada juga anak yang mereka bawa bukanlah anak mereka sendiri, melainkan menyewa kepada orang tua yang menyewakan anaknya. Dan tarifnya pun sangat memilukan hati. Mereka ada yang menyewakan anaknya dengan tarif sekitar Rp. 20.000 sampai Rp. 30.000 per hari.

"Saya sering melihat seorang lelaki dengan badan yang masih segar bugar, usianya sekitar 40-45 tahun. Menerima setoran dari pengemis-pengemis cilik yang memilukan. Entahlah, apakah dia itu bapaknya atau orang yang sengaja memeras keringat anak kecil untuk mengemis,"Ungkapnya.

Pekanbaru Pos yang penasaran dan ingin mengetahui kebenaran akan cerita warga tersebut, memberanikan diri mendekati beberapa ibu-ibu yang sedang menerima setoran dari pengemis cilik, salah satunya Chairani (52), Nenek paruh baya ini terlihat asyik menghitung hasil mengemis sang bocah saat Pekanbaru Pos menghampiri.


Chairani mengakui jika memang mereka adalah orangtua dari anak-anak yang mengemis di lampu merah tersebut, memang banyak sebagian orang yang tidak tau, memandang hina perbuatan orang tua seperti dirinya. Bahkan tak jarang dikatakan memanfaatkan bocah kecilnya untuk mengisi perutnya yang lapar dan mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.

"Jangankan manusia, hewan saja saja sayang dengan anaknya, Siapa yang bermimpi jadi pengemis, tak ada yang mau,"Ungkapnya dengan nada tinggi.

Ia mengaku tidak ada pilihan lain, Sebelum suaminya meninggal mereka tinggal disebuah kontrakan didaerah sumatera barat, suaminya yang bekerja saat itu masih mampu membiayai hidup mereka, namun ketika suaminya meninggal maka dimulailah kehidupan yang penuh dengan kesedihan,  Chairani dan ke 4 anaknya diusir dari tempat kontrakannya, bahkan barang-barang mereka serta dokumen penting seperti Kartu Keluarga, Akta Kelahiran anaknya dan Surat Nikah di sita sebagai jaminan oleh pemilik kontrakannya,  saat itu Ia benar-benar dalam keadaan yang sangat sulit karena tidak mempunyai lagi apa-apa, akhirnya untuk bertahan hidup ia mulai mengemis
dari kota satu ke kota lainnya.

"Kalau di padang sudah tidak bisa lagi mengemis, tiap hari ada razia, kalau di Pekanbaru masih aman, razia cuma hari hari tertentu saja,"Ungkapnya.

Ia menceritakan awalnya dulu Ia yang mengemis, namun karena umur sudah bertambah, penyakit asam urat yang Ia alami membuatnya tak bisa berdiri terlalu lama.

"Saya punya penyakit asam urat, saya janda 4 anak, kalau anak-anak tidak mengemis, kita mau makan dan bayar kotrakkan pakai apa,"Ujar Wanita asal padang panjang
ini.

Ia mengaku pernah di panggil oleh Dinas Sosial Kota Pekanbaru, dan dijanjikan akan diberikan modal usaha. Angin segar itu pun membuat ia bersama puluhan pengemis lainnya sangat senang dan berniat untuk berhenti dari pekerjaan mengemis.

"Seandainya saja Dinas Sosial mau menepati janjinya, memberikan bantuan modal usaha pada kami, saya berjanji tidak akan pernah menampakkan muka di lampu merah ini lagi, karena kita juga sudah lelah dari pekerjaan Pak Buk, Pak Buk (Mengemis-Red) ini,"Ujarnya.

Chairani mengaku sengaja merantau ke pekanbaru, karena di padang pemerintah sangat ketat dan tidak memperbolehkan ada pengemis. Tapi di pekanbaru masih bisa, paling hanya sekali kali ditangkap, namun nanti di lepaskan lagi.

Saat ditanya kenapa tidak menyekolahkan anaknya, Ia mengaku di pekanbaru sekolah sangat mahal, ia pernah memasukkan anaknya di sekolah negeri, namun tidak diterima karena ketatnya persaingan, dan ia mencoba di swasta namun biaya mencapai Rp 2,8 juta.

"Rencana mau disekolahkan, dari padang kesini, tapi ternyata mahal,mencapai Rp 2,8 juta,Kalau di padang gratis,tidak membayar, jadi terpaksa anak anak kita disini putus sekolah,"Jelasnya. (did)


No comments:

Post a Comment