Oleh : Didi Wirayuda
.: Salam Pembuka
Mengawali
tulisan ini, saya ingin mengajak kita mencerna sedikit, dengan pemikiran yang
menurut saya salah selama ini, sempat heran kenapa mahasiswa sekarang terlihat apatis, dan cenderung tidak peduli
terhadap lingkungan kampus, saya ambil contoh seorang mahasiswi yang tidak saya
sebutkan namanya, selama dia kuliah hingga kini duduk di semester 7, tidak
mengetahui apa saja Unit Kegiatan Mahasiswa yang ada dikampusnya, minimal tau
kalau di Kampus ada organisasi semacam Pers Mahasiswa, Resimen Mahasiswa,
Pramuka, Mahasiswa Pecinta Alam, KSR dan sebagainya.
Sangat
berbeda dengan kondisi di zaman 1990, dimana mahasiswa di takuti, dan terbukti
mahasiswa lah yang menjadi pelopor reformasi di Indonesia.
.: Ada apa dengan Mahasiswa Kini ?
Ketika
kita masuk di Universitas tujuan kita, apa yang pertama kali kita ingin tuju ?
serta harapan kita dengan kuliah itu sendiri.
1. Kuliah
untuk mencari kerja, apa ini benar ?
Bagi saya,
pernyataan itu kurang tepat, kalau niatnya seperti itu,kenapa harus kuliah,
tanpa kuliah pun kita bisa bekerja. Bagi saya pribadi kuliah adalah wadah kita
mencari skill dan ilmu sebanyak mungkin, dan bila selesai kita mampu membuka
lapangan pekerjaan bagi orang lain.
2. Kuliah
untuk menjadi PNS, apa itu tujuan kita kuliah ?
Biasanya hal ini,
kemauan orang tua, yang menuntut anaknya untuk menjadi PNS, karena bagi orang
kampung, tingkat sukses seorang anak, jika mampu menjadi PNS baru bisa
dikatakan berhasil.
3. Kuliah
sebagai pelengkap pendidikan semata, dari pada tidak ada kerjaan di rumah ?
Disini kita banyak
terjebak, kita harus luruskan niat, apakah ingin menjadi mahasiswa atau anak
kuliahan, kalau mahasiswa yang kita pilih, kita harus manfaatkan kesempatan dan
menimba ilmu yang ada untuk kita bawa pulang nanti, tapi jika menjadi anak
kuliahan, dikampus hanya untuk bergaya-gaya, dengan status anak kuliahan, Kos,
Kantin, Kampus adalah hal yang selalu kita lakukan berulang-ulang, dengan
dandanan ala Model dan Super Star, tapi isi kepala kosong melompong.
4. Kuliah
untuk mencari gelar , seberapa pentingkah status ini bagi kita ?
Apakah Gelar itu
penting, atau hanya sebagai simbol kita menyelesaikan SKS, membuat skripsi, dan
pengukuhan Sarjana, kita akan malu jika di dunia kerja nanti, Seorang sarjana
Teknik Mesin, tidak mampu mengaplikasikan ilmunya di lapangan, dan kalah dengan
orang tua-tua yang tidak sekolah, hanya belajar dari pengalaman dan ilmu
otodidak yang ia miliki. Gelar memang penting, tapi tidak menjadi landasan yang
paling utama.
5. Ber-organisasi
tidak penting ? yang penting cepat tamat dengan IP tertinggi.
Apakah menjadi
kutu buku itu adalah mahasiswa yang sebenarnya, IP 4.0 tetapi tidak bisa
bersosialisasi dan bermasyarakat, maka kita akan tersingkir, terbukti berapa
banyak sarjana pengangguran yang ber IP tinggi. Karena ilmu yang sebenarnya ada
diluar sana, dan ilmu itu tidak akan
pernah di dapat di dalam kelas dengan ruangan segi empatnya. Mempelajari suatu
ilmu yang lama, yang di ulang-ulang ratusan, ribuan, bahkan jutaan kali, kepada
mahasiswa yang tiap tahunnya berganti-ganti. Apa yang kita dapatkan dengan
mempelajari ilmu tahun 1945, 1978, 1989 yang itu udah ketinggalan jauh, oleh
kita yang hidup di 2012.
Bagi saya di ruang segi empat itu ilmu kita
tidak akan bisa berkembang, sementara orang-orang di luar sana sudah
menciptakan temuan baru.
Apa lagi kalau
hanya teori yang kita pelajari, tanpa praktek sedikit pun.
Tidak etis lagi ilmu
yang tua diterapkan di kehidupan modern kita sekarang, tapi bukan berarti tidak
penting, karena setiap ilmu pasti berguna.
.: Mengenal Pers Mahasiswa lebih dekat.
Dulu di
masa SD, SMP, dan SMA secara tidak langsung kita sudah di perkenalkan dengan
dunia Jurnalistik, Majalah Dinding
Sekolah “MADING” taukan kalian apa itu ? pasti tidak asing, mading di sekolah-sekolah
menjadi salah satu Eskul yang di minati siswa yang hobi tulis menulis, kalau di
masa saya putih abu abu dulu, mading di ramaikan oleh kaum hawa, sangat bisa
dihitung dengan jari jika ada kaum pria di dalamnya, dan saya salah satu kaum
pria yang beruntung dikelilingi oleh wanita-wanita itu, tidak tau kenapa minat
menulis sangat kurang oleh anak muda sekarang, tapi bukan salah mereka juga,
karena sekolah belum maksimal dalam mengembangkan potensi siswanya, serta
kurangnya pengetahuan pengajar akan dunia JURNALISTIK itu sendiri, di pikiran
siswa, mading hanya sebagai tempat curhat, puisi cinta, serta cerpen-cerpen
anak muda dengan realita cinta-cinta monyet mereka.
Tapi itu tidak salah,
karena dari hal sepele itulah kita belajar menulis.
Makmur Hendrik, wartawan
senior, mengatakan dari balik kerangkeng penjara pun orang bisa menerbitkan
Koran, kendati batang tubuh di dalam penjara. “ Jabatan suka-suka, mau jadi
pimpinan umum oke, mau jadi pimpinan redaksi juga go a head,” Katanya
Nah,
kenapa kita tidak bisa, tetapi memang harus ada yang mengarahkan atau
mengajarkan, serta membimbing siswa-siswa ini, saya pun yang dulu masih lugu
sempat bingung dengan bimbingan dua guru bahasa Indonesia yang saya rasa tidak
terlalu mengerti dengan dunia jurnalistik, harus menulis apa ? mungkin jika bimbingan tentang ejaan EYD yang
bener mungkin cocok jika di ajarkan oleh guru bahasa indonesia, tapi dunia
JURNALISME itu lebih kompleks, tidak cukup dengan EYD saja. Dan bukan sekedar
aktifitas meliput, membuat, menghimpun, menyebar luaskan berita, atau sekedar
laporan tentang “peristiwa” tapi lebih dari itu jurnalis yang bagus, mereka
mampu memaparkan realitas dalam masyarakat dan membingkainya dalam suatu pola
yang menarik, dan tentunya ada yang di perhatikan untuk hal itu, yang pertama
dan wajib dilakukan seorang wartawan adalah riset, mempelajari lebih dalam
tentang berita yang akan di angkat, kemudian seorang wartawan di tuntut untuk
peka dan berempati terhadap suatu peristiwa ( biasa peristiwa musibah/bencana),
dan yang paling penting dari semua itu, wartawan harus mempunyai kemampuan
analisa yang tinggi (Interprestasi), ditambah ke uletan verifikasi, artinya
kita tidak boleh percaya dengan satu nara sumber tunggal, harus ada nara sumber
pembanding untuk menguatkan atau menjela pernyataan narasumber pertama, benar
atau salah yang di sampaikan, itu pembaca atau penonton yang menilai, jurnalis
berada ditengah-tengah.
Dan mengambil kesimpulan
serta memilih angle juga sesuatu yang harus di perhatikan menjadi seorang
wartawan.
.: Sekolah dan Kampus
Jadi Penerus Melahirkan Wartawan Berkode Etis
Saya
sempat berpikir, seandainya ada sekolah-sekolah yang punya wadah untuk Tabloid Siswa seputar
sekolah mereka, pasti keren ! Tapi isi Tabloidnya harus seperti Majalah Tempo,
Gagasan dan yang serupa, yang berani memberitakan apa adanya, bukan seperti koran-koran
lokal atau lainnya yang mulai jauh akan fungsi pers sebenarnya.
Hampir
semua media di Indonesia, isi beritanya di akui atau tidak hampir semua
membodohkan masyarakat, mengaburkan fakta, berpihak kepada pejabat bukan
kepentingan rakyat, dan tempat ajang politik busuk membangun citra mereka yang
baik-baik, dan ajang propoganda dengan lawan politik lainnya. Dan tidak salah,
banyak wartawan nakal memanfaatkan itu, untuk merauk uang “Haram” dari mereka,
maka bermunculan wartawan asal jadi, wartawan amlop, wartawan bodrek, yang
mungkin tamat SMA saja tidak dan tidak mengerti akan kode etik jurnalis, dengan
bermodal pengetahuan 5W+1H nya yang pas-pasan, sudah berani menulis di
Koran-koran lokal, dan wartawan-wartawan seperti itu, yang membuat citra
Wartawan jadi buruk di mata masyarakat, jadi jangan salahkan masyarakat kita
yang sudah cerdas tidak percaya lagi dengan insan Pers.
Dahlan Iskan, Ketua Umum
Serikat Perusahaan Pers (SPS) pusat , mengatakan tahun 1990-an Riau mulai
bermunculan koran harian, kemunculan itu sendiri beriringan dengan mulai
menggeliatnya perekonomian di Riau, hebatnya perkembangan Koran di Riau tidak
bisa ditahan lagi, terus melaju bahkan dalam waktu singkat sudah mengalahkan
oplah Koran di Sumatera Barat. “Sampai saat ini perkembangan pers di Riau sudah
tidak bisa di kalahkan lagi,” Ujarnya
Dewasa
ini media sangat dominan dan mulai di lirik sebagai salah satu alat yang
ditakuti, banyak rumor yang mengatakan bahwa,”siapa yang memiliki media, maka
dia akan menguasai dunia” kata-kata itu,
bukan isapan jempol semata, terbukti dengan menjamurnya media-media baru, baik
cetak maupun elektronik, dan yang memiliki itu semua adalah orang-orang yang
berkuasa dan memiliki kepentingan di dalamnya, artinya media atau insan pers
tidak independen lagi, karena di susupi oleh orang ber uang di belakangnya.
HM Rusli Zainal SE,
Gubernur Riau, Pertumbuhan pers yang marak di satu pihak sangat mengembirakan,
tapi di lain pihak perlu di waspadai, sebab masih banyak suratkabar atau
majalah yang terdorong oleh tujuan komersial atau pun motif lainnya. “ Dalam
menyajikan berita-beritanya cukup sensasional, akan tetapi tanpa adanya
norma-norma kesusilaan, atau sopan santun,” Katanya
Bayangkan,
cukup menjanjikan, tetapi juga miris, apakah sudah bisa membangun kebebasan
pers Riau yang bermartabat. Untuk mewujudkan itu semua menurut hemat saya di masa sekolah lah, yang
sepertinya tepat untuk menanamkan nilai-nilai kode etik jurnalistik, membuat
program edukasi dan soft skill, agar muncul bibit wartawan berkualitas serta
berkepribadian santun, saya pikir ini adalah tantangan yang berat bagi sekolah
dan kita semua, tapi sekali lagi pihak sekolah dituntut untuk aktif dalam hal
ini, dan yang terpenting jika ini berhasil, sekolah harus tahan kritik, karena
yang namanya berita, tentu tidak hanya yang baik-baik saja yang akan di angkat,
tetapi hal yang perlu di ketahui khalayak ramai, dan kepentingan orang banyak,
walau pun itu hal yang buruk, harus tetap di beritakan. Jika sekolah sudah
mampu bersikap demokratis seperti itu,dan menanamkan dan mengajarkan kode etik
jurnalistik se-dini mungkin,maka pasti akan melahirkan bibit jurnalis yang
bagus, dan di bangku kuliah, tinggal di asah lagi sikap kritis si wartawan,
dengan bergabung di Pers Mahasiswa (PERSMA) yang ada di kampus-kampus seluruh indonesia,
biasanya terasa sangat berbeda wartawan yang lulusan PERSMA dengan Non-PRESMA
baik segi tulisan, pemikiran, dan Tata karma di Lapangan.
.: Mengapa wartawan butuh
Kode Etik Jurnalistik
H Syafriadi, Ketua SPS
Cabang Riau, mengatakan ada perasaan sedih karena ternyata banyak di antara
jurnalistik yang tidak paham apa itu Kode Etik Jurnalistik (KEJ). “ Bahkan
membaca KEJ dan UU pers pun tidak,” katanya
Berikut
saya ingin mengulang kata-kata seorang yang menginsprisasi saya untuk semangat
menulis, Mas Andreas Harsono yang mengambil perkataan Bill Kovack dan Tom
Rosenstiel dalam bukunya yang berjudul “The Elements of Journalism, What News
people should Know and The Public Should Expect”, yang merumuskan
prinsip-prinsip pers dalam Sembilan Element Jurnalisme :
1. Kewajiban
pertama jurnalisme adalah pada
kebenaran.
Akan tetapi
kebenaran di sini, kebenaran yang bukan di landasi dengan kepentingan tertentu
( disinterested pursuit of truth).
2. Loyalitas
pertama jurnalisme adalah kepada warga ( Citizens).
Ini adalah fungsi
yang sebenarnya dari pers sebagai media informasi, dan yang bebas dari tekanan
dan setia dan berkewajiban terhadap kepentingan public.
3. Disiplin
verifikasi.
Artinya wartawan
di tuntun untuk memberitakan hal yang benar, diharamkan untuk ber-opini,
fakta-fakta yang di dapat, harus dilengkapi dengan saksi, sumber berita, dan
komentar pihak terkait.
4. Jurnalis
harus independen.
Untuk mendapatkan
informasi kita jangan menjaga jarak pada narasumber, agar infomasi tergali
lebih dalam, akan tetapi jangan terlalu dekat, kita harus bisa memberikan
batasan jarak aman, agar kita dapat melihat sebuah persoalan secara jernih dan
jelas, sehingga tulisan kita tetap netral, dalam arti tidak berpihak kepada
siapa pun, tapi memaparkan sesuai realitas.
5. Jurnalis
sebagai alat kontrol kekuasaan
Wartawan harus
menjadi pengawas yang mengontrol kekuasaan, karena kekuasaan jika tidak di
kontrol atau di ingatkan, mereka akan “melenceng” dari jalannya.
Jika sudah tidak
sesuai dan merugikan rakyat yang lemah, wartawan harus berani menyuarakan,
sebagai perpanjangan tangan masyarakat.
6. Menyediakan
forum kritik/komentar bagi public.
Media harus
mengakomodasi kepentingan semua pihak, terutama pihak yang lemah dan teraniaya.
Sangat di sayangkan jika media hanya untuk kalangan yang berpengaruh atau
ekonomi kuat serta bagian demografis yang menarik sebagai lahan iklan saja.
7. Berupaya
membuat hal penting menjadi menarik.
Pers berkewajiban
meramu berita agar berita penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar
dan ditonton, agar tidak lolos dari perhatian public.
8. Menjaga
berita tetap komprehensif dan proporsional.
Itu menjaga agar
berita yang di sajikan tetap akurat yang di bingkai dengan bagus dalam Kode
Etik Jurnalistik.
9. Jurnalis
harus mengikuti suara hati atau nurani.
Dari kesimpulan
semua itu, wartawan harus mempunyai etika dan tanggung jawab moral, atas berita
yang dihasilkannya, jika sebuah berita
dirasa tidak memihak pada kebenaran atau kepentingan publik, wartawan
diharapkan berani untuk berbeda pendapat.
Dan dengan kode
etik yang selalu di pegang teguh, akan membuat pembaca percaya kepada kita. Dan
itu yang sangat penting bagi seorang penulis, kepercayaan pembaca.
Dan
walau pun Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang akan saya sampaikan ini, kebanyakkan
wartawan sudah tau, yang bisa kita dapat dengan browsing di internet atau
buku-buka di toko, tetapi saya yakin pasti sangat sedikit sekali wartawan
menggunakan dan mengaplikasikannya di lapangan, untuk itu saya ingin memaparkan
lagi, mengulang, dan sedikit menjelaskan, dan menekan kan bahwa KEJ sangat
penting bagi wartawan, tidak maksud menggurui, hanya menyadarkan kita yang lupa
dan salah, kode etik jurnalistik itu sebagai berikut :
Pasal 1 :
Wartawan Indonesia bersikap independen menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk
Penjelasan : Maksud dari independen disini,
seorang wartawan dalam memberitakan peristiwa atau fakta nurani tanpa campur
tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik
perusahaan pers. Dan data-data yang di
dapat harus akurat, sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa itu
terjadi, artinya data-datanya dapat dipercaya. Dan tidak ada niat dengan
sengaja untuk menimbulkan kerugian pihak lain (Etikad buruk).
Pasal 2 :
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penjelasan : Wartawan
harus menunjukkan identitas diri kepada nara sumber, kecuali dalam keadaan
menyamar untuk mendapatkan suatu berita investigasi, yang itu bisa mengancam
keselamatan si wartawan. Hormati hak privasi, jangan sekali-kali menyuap atau
di suap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Dan dalam
pengambilan dan pembuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan
keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang. Diharamkan
melakukan plagiat, apa lagi jika menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri. ( Sangat memalukan bagi seorang wartawan, jika ini terjadi), Dan
kenyataannya ini banyak di lakukan wartawan masa kini, seperti seorang pekerja
kantoran, mereka menunggu pres release atau kabar dari wartawan lain, dan
setelah mendapatkan data-data mereka ramu menjadi suatu berita, atas nama
mereka tanpa kroscek kebenarannya, ( Ini tindakkan yang fatal bagi seorang
wartawan) karena wartawan harusnya tidak menunggu peristiwa muncul di
hadapannya, tetapi ia akan mencari, mengamati, terjun ke lapangan, berjuang,
dan menggali hal-hal yang eksklusif dengan ketajaman naluri seorang intelijen,
dan yang paling penting skeptis dan memverifikasi serta mengklarifikasi
fakta-fakta yang di perolehnya, lewat nara sumber yang di percaya. Dan wartawan
harus menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto
dan suara. Dan cara-cara tertentu dapat di pertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3 :
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah.
Penjelasan : Seorang
wartawan baik selalu melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi,
serta memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara
proporsional (berimbang). Dan tidak beropini apa lagi sampai menghakimi dengan
pendapat pribadi si wartawan. Dan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak
bersalah.
Pasal 4:
Wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penjelasan : Bohong
artinya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, fitnah artinya tuduhan tanpa
dasar yang sengaja dengan niat buruk, sadis
artinya kejam yang tidak mengenal
kasihan, cabul artinya menggambarkan tingkah laku secara erotis dengan foto,
gambar, suara, grafis, atau tulisan yang dapat membangkitkan nafsu birahi.
Pasal 5 :
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
Penjelasan : Ini semua dilakukan
demi menjaga kehidupan sosial keluarga pelaku atau korban asusila di tengah
masyarakat.
Pasal 6 :
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima
suap.
Penjelasan : Banyak
wartawan mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat
menjalankan tugas, sebelum informasi itu menjadi pengetahuan khalayak, bukan
hal yang baru, profesi wartawan di gunakan untuk memeras, mengancam pejabat
yang bermasalah oleh wartawan nakal, dan seorang wartawan indenpendensinya akan
riskan dibeli, dalam bentuk uang, benda atau pun fasilitas dari pihak
berkepentingan.
Pasal 7 :
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitasnya,
maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang,
dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Penjelasan : Wartawan
mempunyai hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber
demi keamanan narasumber dan keluarganya. Embargo adalah penundaan pemuatan
atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. Informasi atau data
dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan
narasumbernya. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber
yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8 :
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang, atas dasar perbedaan suku, ras,
warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bangsa, serta tidak merendahkan martabat
orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penjelasan : Prasangka
adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara
langsung secara jelas. Dan diskriminasi adalah perbedaan perlakuan, hindari
pemberitaan yang berbau SARA atau RASISME.
Pasal 9 :
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penjelasan : Menghormati
hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati, dan seorang wartawan
hendaklah menghormati kehidupan pribadi seseorang dan keluarganya, selain untuk
kepentingan publik, untuk pasal 9 ini, saya rasa wartawan gosip di
televisi-televisi sering melakukan pelanggaran ini, tapi pertanyaannya besarnya
apakah Gosip termasuk dalam Jurnalistik ? masih pro kontra untuk hal ini, ada
yang mengatakan tidak, ada yang mengatakan iya.
Pasal 10 :
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita
yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan pemirsa.
Penjelasan : Setiap
lembaga pers, cetak mau pun elektronik. Harus melakukan permintaan maaf, jika
terjadi kesalahan, atau pun teguran dari pihak yang dirugikan, dan melakukan
ralat terhadap pemberitaan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11 :
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proporsional.
Penjelasan : Hak jawab
adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau
sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak
koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional
berarti setara dengan berita yang perlu diperbaiki.
Nah bagaimana ? sudah kah
wartawan kita memegang pedoman KEJ, setelah pemaparan ini, saya harap kita
tergugah, dan merubah prilaku wartawan kita, dengan memulainya dari kita
sendiri, apa lagi perkembangan teknologi, menyeret jurnalistik ke Media Online,
disini semua orang bebas tanpa batasan bisa menghakimi atau pun berubah menjadi
wartawan dadakan yang Free Line, tidak punya lembaga yang mengikatnya, artinya
mereka bebas sesuka hati, tanpa Kode Etik yang jelas, Susah membedakan antara
Blogger, Web atau pun Jurnalis, karena mereka sama-sama media informasi, dan
masyarakat awam pun, bingung dengan menjamurnya media online bak jamur di musim
hujan.
Maka,saya menganjurkan
selaku praktisi Jurnalistik, bergabunglah dengan PERS MAHASISWA, karena di sana
banyak ilmu yang akan kita dapat, bersama mengubah dunia untuk jurnalistik yang
baik dan bersih, tanpa menambah atau mengarang apapun, tanpa menipu dan
menyesatkan masyarakat, bersikap rendah hati dan bersikap jujur kepada penikmat
informasi. Dan di Persma kalian akan temukan kawan-kawan lain dari seluruh
Indonesia, dan bahkan dunia, yang lebih dulu dan punya pengalaman yang lebih
dari kita, dan kalian nanti akan tau betapa bobroknya Negara kita, dan siapa
lagi yang mengubah itu semua, kalau bukan kita.
Acuan :
Andreas harsono, 2010. Agama Saya
Adalah Jurnalisme (Kanisius)
Bill Kovach & Tom Rosenstiel,
2001. The Element of Jurnalism (New York : Crown)
Buku Serikat Perusahan Pers
(SPS),2012. Membangun kebebasan Pers Riau yang bermartabat.
Kumpulan Tulisan Pelatihan
Jurnalistik Tingkat Lanjut Genda Andalas 2011
tulisan yang sangat mendalam..
ReplyDeletesukses terus buat penulisnya..
hmm makasih ya :) penulis hanya memaparkan realita yg ada :)
Delete