Menerima pemotretan WEDDING CERRMONY PRE WEDDING WISUDA EVENT BIRTHDAY MODEL PRODUCT DLL CONTACT US 081368052602 PIN 2BC87F83 DISKON 30% SELAMA PROMOSI TRUST US TO CAPTURE YOUR SPECIAL MOMENT AND BRING OUT YOUR IMAGINATION TO REAL IMAGE

Saturday, January 28, 2012

Kode Etik Yang Apatis



Oleh : Didi Wirayuda

.: Salam Pembuka
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengajak kita mencerna sedikit, dengan pemikiran yang menurut saya salah selama ini, sempat heran kenapa  mahasiswa sekarang  terlihat apatis, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan kampus, saya ambil contoh seorang mahasiswi yang tidak saya sebutkan namanya, selama dia kuliah hingga kini duduk di semester 7, tidak mengetahui apa saja Unit Kegiatan Mahasiswa yang ada dikampusnya, minimal tau kalau di Kampus ada organisasi semacam Pers Mahasiswa, Resimen Mahasiswa, Pramuka, Mahasiswa Pecinta Alam, KSR dan sebagainya.
Sangat berbeda dengan kondisi di zaman 1990, dimana mahasiswa di takuti, dan terbukti mahasiswa lah yang menjadi pelopor reformasi di Indonesia.


.:  Ada apa dengan Mahasiswa Kini ?
Ketika kita masuk di Universitas tujuan kita, apa yang pertama kali kita ingin tuju ? serta harapan kita dengan kuliah itu sendiri.
1.       Kuliah untuk mencari kerja, apa ini benar ?
Bagi saya, pernyataan itu kurang tepat, kalau niatnya seperti itu,kenapa harus kuliah, tanpa kuliah pun kita bisa bekerja. Bagi saya pribadi kuliah adalah wadah kita mencari skill dan ilmu sebanyak mungkin, dan bila selesai kita mampu membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.
2.       Kuliah untuk menjadi PNS, apa itu tujuan kita kuliah ?
Biasanya hal ini, kemauan orang tua, yang menuntut anaknya untuk menjadi PNS, karena bagi orang kampung, tingkat sukses seorang anak, jika mampu menjadi PNS baru bisa dikatakan berhasil.
3.       Kuliah sebagai pelengkap pendidikan semata, dari pada tidak ada kerjaan di rumah ?
Disini kita banyak terjebak, kita harus luruskan niat, apakah ingin menjadi mahasiswa atau anak kuliahan, kalau mahasiswa yang kita pilih, kita harus manfaatkan kesempatan dan menimba ilmu yang ada untuk kita bawa pulang nanti, tapi jika menjadi anak kuliahan, dikampus hanya untuk bergaya-gaya, dengan status anak kuliahan, Kos, Kantin, Kampus adalah hal yang selalu kita lakukan berulang-ulang, dengan dandanan ala Model dan Super Star, tapi isi kepala kosong melompong.
4.       Kuliah untuk mencari gelar , seberapa pentingkah status ini bagi kita ?
Apakah Gelar itu penting, atau hanya sebagai simbol kita menyelesaikan SKS, membuat skripsi, dan pengukuhan Sarjana, kita akan malu jika di dunia kerja nanti, Seorang sarjana Teknik Mesin, tidak mampu mengaplikasikan ilmunya di lapangan, dan kalah dengan orang tua-tua yang tidak sekolah, hanya belajar dari pengalaman dan ilmu otodidak yang ia miliki. Gelar memang penting, tapi tidak menjadi landasan yang paling utama.
5.       Ber-organisasi tidak penting ? yang penting cepat tamat dengan IP tertinggi.
Apakah menjadi kutu buku itu adalah mahasiswa yang sebenarnya, IP 4.0 tetapi tidak bisa bersosialisasi dan bermasyarakat, maka kita akan tersingkir, terbukti berapa banyak sarjana pengangguran yang ber IP tinggi. Karena ilmu yang sebenarnya ada diluar sana, dan ilmu itu  tidak akan pernah di dapat di dalam kelas dengan ruangan segi empatnya. Mempelajari suatu ilmu yang lama, yang di ulang-ulang ratusan, ribuan, bahkan jutaan kali, kepada mahasiswa yang tiap tahunnya berganti-ganti. Apa yang kita dapatkan dengan mempelajari ilmu tahun 1945, 1978, 1989 yang itu udah ketinggalan jauh, oleh kita yang hidup di 2012.
 Bagi saya di ruang segi empat itu ilmu kita tidak akan bisa berkembang, sementara orang-orang di luar sana sudah menciptakan temuan baru.
Apa lagi kalau hanya teori yang kita pelajari, tanpa praktek sedikit pun.
Tidak etis lagi ilmu yang tua diterapkan di kehidupan modern kita sekarang, tapi bukan berarti tidak penting, karena setiap ilmu pasti berguna.


.:  Mengenal Pers Mahasiswa lebih dekat.
Dulu di masa SD, SMP, dan SMA secara tidak langsung kita sudah di perkenalkan dengan dunia Jurnalistik,  Majalah Dinding Sekolah “MADING” taukan kalian apa itu ? pasti tidak asing, mading di sekolah-sekolah menjadi salah satu Eskul yang di minati siswa yang hobi tulis menulis, kalau di masa saya putih abu abu dulu, mading di ramaikan oleh kaum hawa, sangat bisa dihitung dengan jari jika ada kaum pria di dalamnya, dan saya salah satu kaum pria yang beruntung dikelilingi oleh wanita-wanita itu, tidak tau kenapa minat menulis sangat kurang oleh anak muda sekarang, tapi bukan salah mereka juga, karena sekolah belum maksimal dalam mengembangkan potensi siswanya, serta kurangnya pengetahuan pengajar akan dunia JURNALISTIK itu sendiri, di pikiran siswa, mading hanya sebagai tempat curhat, puisi cinta, serta cerpen-cerpen anak muda dengan realita cinta-cinta monyet mereka.
Tapi itu tidak salah, karena dari hal sepele itulah kita belajar menulis.

Makmur Hendrik, wartawan senior, mengatakan dari balik kerangkeng penjara pun orang bisa menerbitkan Koran, kendati batang tubuh di dalam penjara. “ Jabatan suka-suka, mau jadi pimpinan umum oke, mau jadi pimpinan redaksi juga go a head,” Katanya

Nah, kenapa kita tidak bisa, tetapi memang harus ada yang mengarahkan atau mengajarkan, serta membimbing siswa-siswa ini, saya pun yang dulu masih lugu sempat bingung dengan bimbingan dua guru bahasa Indonesia yang saya rasa tidak terlalu mengerti dengan dunia jurnalistik, harus menulis apa ?  mungkin jika bimbingan tentang ejaan EYD yang bener mungkin cocok jika di ajarkan oleh guru bahasa indonesia, tapi dunia JURNALISME itu lebih kompleks, tidak cukup dengan EYD saja. Dan bukan sekedar aktifitas meliput, membuat, menghimpun, menyebar luaskan berita, atau sekedar laporan tentang “peristiwa” tapi lebih dari itu jurnalis yang bagus, mereka mampu memaparkan realitas dalam masyarakat dan membingkainya dalam suatu pola yang menarik, dan tentunya ada yang di perhatikan untuk hal itu, yang pertama dan wajib dilakukan seorang wartawan adalah riset, mempelajari lebih dalam tentang berita yang akan di angkat, kemudian seorang wartawan di tuntut untuk peka dan berempati terhadap suatu peristiwa ( biasa peristiwa musibah/bencana), dan yang paling penting dari semua itu, wartawan harus mempunyai kemampuan analisa yang tinggi (Interprestasi), ditambah ke uletan verifikasi, artinya kita tidak boleh percaya dengan satu nara sumber tunggal, harus ada nara sumber pembanding untuk menguatkan atau menjela pernyataan narasumber pertama, benar atau salah yang di sampaikan, itu pembaca atau penonton yang menilai, jurnalis berada ditengah-tengah.
Dan mengambil kesimpulan serta memilih angle juga sesuatu yang harus di perhatikan menjadi seorang wartawan.

.: Sekolah dan Kampus Jadi Penerus Melahirkan Wartawan Berkode Etis
Saya sempat berpikir, seandainya ada sekolah-sekolah yang  punya wadah untuk Tabloid Siswa seputar sekolah mereka, pasti keren ! Tapi isi Tabloidnya harus seperti Majalah Tempo, Gagasan dan yang serupa, yang berani memberitakan apa adanya, bukan seperti koran-koran lokal atau lainnya yang mulai jauh akan fungsi pers sebenarnya.

Hampir semua media di Indonesia, isi beritanya di akui atau tidak hampir semua membodohkan masyarakat, mengaburkan fakta, berpihak kepada pejabat bukan kepentingan rakyat, dan tempat ajang politik busuk membangun citra mereka yang baik-baik, dan ajang propoganda dengan lawan politik lainnya. Dan tidak salah, banyak wartawan nakal memanfaatkan itu, untuk merauk uang “Haram” dari mereka, maka bermunculan wartawan asal jadi, wartawan amlop, wartawan bodrek, yang mungkin tamat SMA saja tidak dan tidak mengerti akan kode etik jurnalis, dengan bermodal pengetahuan 5W+1H nya yang pas-pasan, sudah berani menulis di Koran-koran lokal, dan wartawan-wartawan seperti itu, yang membuat citra Wartawan jadi buruk di mata masyarakat, jadi jangan salahkan masyarakat kita yang sudah cerdas tidak percaya lagi dengan insan Pers.

Dahlan Iskan, Ketua Umum Serikat Perusahaan Pers (SPS) pusat , mengatakan tahun 1990-an Riau mulai bermunculan koran harian, kemunculan itu sendiri beriringan dengan mulai menggeliatnya perekonomian di Riau, hebatnya perkembangan Koran di Riau tidak bisa ditahan lagi, terus melaju bahkan dalam waktu singkat sudah mengalahkan oplah Koran di Sumatera Barat. “Sampai saat ini perkembangan pers di Riau sudah tidak bisa di kalahkan lagi,” Ujarnya

Dewasa ini media sangat dominan dan mulai di lirik sebagai salah satu alat yang ditakuti, banyak rumor yang mengatakan bahwa,”siapa yang memiliki media, maka dia akan menguasai dunia”  kata-kata itu, bukan isapan jempol semata, terbukti dengan menjamurnya media-media baru, baik cetak maupun elektronik, dan yang memiliki itu semua adalah orang-orang yang berkuasa dan memiliki kepentingan di dalamnya, artinya media atau insan pers tidak independen lagi, karena di susupi oleh orang ber uang di belakangnya.
HM Rusli Zainal SE, Gubernur Riau, Pertumbuhan pers yang marak di satu pihak sangat mengembirakan, tapi di lain pihak perlu di waspadai, sebab masih banyak suratkabar atau majalah yang terdorong oleh tujuan komersial atau pun motif lainnya. “ Dalam menyajikan berita-beritanya cukup sensasional, akan tetapi tanpa adanya norma-norma kesusilaan, atau sopan santun,” Katanya

Bayangkan, cukup menjanjikan, tetapi juga miris, apakah sudah bisa membangun kebebasan pers Riau yang bermartabat. Untuk mewujudkan itu semua menurut  hemat saya di masa sekolah lah, yang sepertinya tepat untuk menanamkan nilai-nilai kode etik jurnalistik, membuat program edukasi dan soft skill, agar muncul bibit wartawan berkualitas serta berkepribadian santun, saya pikir ini adalah tantangan yang berat bagi sekolah dan kita semua, tapi sekali lagi pihak sekolah dituntut untuk aktif dalam hal ini, dan yang terpenting jika ini berhasil, sekolah harus tahan kritik, karena yang namanya berita, tentu tidak hanya yang baik-baik saja yang akan di angkat, tetapi hal yang perlu di ketahui khalayak ramai, dan kepentingan orang banyak, walau pun itu hal yang buruk, harus tetap di beritakan. Jika sekolah sudah mampu bersikap demokratis seperti itu,dan menanamkan dan mengajarkan kode etik jurnalistik se-dini mungkin,maka pasti akan melahirkan bibit jurnalis yang bagus, dan di bangku kuliah, tinggal di asah lagi sikap kritis si wartawan, dengan bergabung di Pers Mahasiswa (PERSMA) yang ada di kampus-kampus seluruh indonesia, biasanya terasa sangat berbeda wartawan yang lulusan PERSMA dengan Non-PRESMA baik segi tulisan, pemikiran, dan Tata karma di Lapangan.


.: Mengapa wartawan butuh Kode Etik Jurnalistik

H Syafriadi, Ketua SPS Cabang Riau, mengatakan ada perasaan sedih karena ternyata banyak di antara jurnalistik yang tidak paham apa itu Kode Etik Jurnalistik (KEJ). “ Bahkan membaca KEJ dan UU pers pun tidak,” katanya

Berikut saya ingin mengulang kata-kata seorang yang menginsprisasi saya untuk semangat menulis, Mas Andreas Harsono yang mengambil perkataan Bill Kovack dan Tom Rosenstiel dalam bukunya yang berjudul “The Elements of Journalism, What News people should Know and The Public Should Expect”, yang merumuskan prinsip-prinsip pers dalam Sembilan Element Jurnalisme :
1.       Kewajiban pertama  jurnalisme adalah pada kebenaran.
Akan tetapi kebenaran di sini, kebenaran  yang  bukan di landasi dengan kepentingan tertentu ( disinterested pursuit  of truth).
2.       Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga ( Citizens).
Ini adalah fungsi yang sebenarnya dari pers sebagai media informasi, dan yang bebas dari tekanan dan setia dan berkewajiban terhadap kepentingan public.
3.       Disiplin verifikasi.
Artinya wartawan di tuntun untuk memberitakan hal yang benar, diharamkan untuk ber-opini, fakta-fakta yang di dapat, harus dilengkapi dengan saksi, sumber berita, dan komentar pihak terkait.
4.       Jurnalis harus independen.
Untuk mendapatkan informasi kita jangan menjaga jarak pada narasumber, agar infomasi tergali lebih dalam, akan tetapi jangan terlalu dekat, kita harus bisa memberikan batasan jarak aman, agar kita dapat melihat sebuah persoalan secara jernih dan jelas, sehingga tulisan kita tetap netral, dalam arti tidak berpihak kepada siapa pun, tapi memaparkan sesuai realitas.
5.       Jurnalis sebagai alat kontrol kekuasaan
Wartawan harus menjadi pengawas yang mengontrol kekuasaan, karena kekuasaan jika tidak di kontrol atau di ingatkan, mereka akan “melenceng” dari jalannya.
Jika sudah tidak sesuai dan merugikan rakyat yang lemah, wartawan harus berani menyuarakan, sebagai perpanjangan tangan masyarakat.
6.       Menyediakan forum kritik/komentar bagi public.
Media harus mengakomodasi kepentingan semua pihak, terutama pihak yang lemah dan teraniaya. Sangat di sayangkan jika media hanya untuk kalangan yang berpengaruh atau ekonomi kuat serta bagian demografis yang menarik sebagai lahan iklan saja.
7.       Berupaya membuat hal penting menjadi menarik.
Pers berkewajiban meramu berita agar berita penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar dan ditonton, agar tidak lolos dari perhatian public.
8.       Menjaga berita tetap komprehensif dan proporsional.
Itu menjaga agar berita yang di sajikan tetap akurat yang di bingkai dengan bagus dalam Kode Etik Jurnalistik.
9.       Jurnalis harus mengikuti suara hati atau nurani.

Dari kesimpulan semua itu, wartawan harus mempunyai etika dan tanggung jawab moral, atas berita yang dihasilkannya,  jika sebuah berita dirasa tidak memihak pada kebenaran atau kepentingan publik, wartawan diharapkan berani untuk berbeda pendapat.
Dan dengan kode etik yang selalu di pegang teguh, akan membuat pembaca percaya kepada kita. Dan itu yang sangat penting bagi seorang penulis, kepercayaan pembaca.
Dan walau pun Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang akan saya sampaikan ini, kebanyakkan wartawan sudah tau, yang bisa kita dapat dengan browsing di internet atau buku-buka di toko, tetapi saya yakin pasti sangat sedikit sekali wartawan menggunakan dan mengaplikasikannya di lapangan, untuk itu saya ingin memaparkan lagi, mengulang, dan sedikit menjelaskan, dan menekan kan bahwa KEJ sangat penting bagi wartawan, tidak maksud menggurui, hanya menyadarkan kita yang lupa dan salah, kode etik jurnalistik itu sebagai berikut :

Pasal 1 :
Wartawan Indonesia bersikap independen menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk
 Penjelasan : Maksud dari independen disini, seorang wartawan dalam memberitakan peristiwa atau fakta nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan  pers. Dan data-data yang di dapat harus akurat, sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa itu terjadi, artinya data-datanya dapat dipercaya. Dan tidak ada niat dengan sengaja untuk menimbulkan kerugian pihak lain (Etikad buruk).

Pasal 2 :
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penjelasan : Wartawan harus menunjukkan identitas diri kepada nara sumber, kecuali dalam keadaan menyamar untuk mendapatkan suatu berita investigasi, yang itu bisa mengancam keselamatan si wartawan. Hormati hak privasi, jangan sekali-kali menyuap atau di suap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Dan dalam pengambilan dan pembuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang. Diharamkan melakukan plagiat, apa lagi jika menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. ( Sangat memalukan bagi seorang wartawan, jika ini terjadi), Dan kenyataannya ini banyak di lakukan wartawan masa kini, seperti seorang pekerja kantoran, mereka menunggu pres release atau kabar dari wartawan lain, dan setelah mendapatkan data-data mereka ramu menjadi suatu berita, atas nama mereka tanpa kroscek kebenarannya, ( Ini tindakkan yang fatal bagi seorang wartawan) karena wartawan harusnya tidak menunggu peristiwa muncul di hadapannya, tetapi ia akan mencari, mengamati, terjun ke lapangan, berjuang, dan menggali hal-hal yang eksklusif dengan ketajaman naluri seorang intelijen, dan yang paling penting skeptis dan memverifikasi serta mengklarifikasi fakta-fakta yang di perolehnya, lewat nara sumber yang di percaya. Dan wartawan harus menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto dan suara. Dan cara-cara tertentu dapat di pertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3 :
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penjelasan : Seorang wartawan baik selalu melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi, serta memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional (berimbang). Dan tidak beropini apa lagi sampai menghakimi dengan pendapat pribadi si wartawan. Dan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.

Pasal 4:
Wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penjelasan : Bohong artinya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, fitnah artinya tuduhan tanpa dasar yang sengaja dengan niat buruk, sadis  artinya  kejam yang tidak mengenal kasihan, cabul artinya menggambarkan tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang dapat membangkitkan nafsu birahi.

Pasal 5 :
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penjelasan : Ini semua dilakukan demi menjaga kehidupan sosial keluarga pelaku atau korban asusila di tengah masyarakat.

Pasal 6 :
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penjelasan : Banyak wartawan mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat menjalankan tugas, sebelum informasi itu menjadi pengetahuan khalayak, bukan hal yang baru, profesi wartawan di gunakan untuk memeras, mengancam pejabat yang bermasalah oleh wartawan nakal, dan seorang wartawan indenpendensinya akan riskan dibeli, dalam bentuk uang, benda atau pun fasilitas dari pihak berkepentingan.

Pasal 7 :
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber  yang tidak bersedia diketahui identitasnya, maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Penjelasan : Wartawan mempunyai hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. Informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8 :
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang, atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bangsa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penjelasan : Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara langsung secara jelas. Dan diskriminasi adalah perbedaan perlakuan, hindari pemberitaan yang berbau SARA atau RASISME.

Pasal 9 :
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penjelasan : Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati, dan seorang wartawan hendaklah menghormati kehidupan pribadi seseorang dan keluarganya, selain untuk kepentingan publik, untuk pasal 9 ini, saya rasa wartawan gosip di televisi-televisi sering melakukan pelanggaran ini, tapi pertanyaannya besarnya apakah Gosip termasuk dalam Jurnalistik ? masih pro kontra untuk hal ini, ada yang mengatakan tidak, ada yang mengatakan iya.

Pasal 10 :
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan pemirsa.
Penjelasan : Setiap lembaga pers, cetak mau pun elektronik. Harus melakukan permintaan maaf, jika terjadi kesalahan, atau pun teguran dari pihak yang dirugikan, dan melakukan ralat terhadap pemberitaan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11 :
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penjelasan : Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional berarti setara dengan berita yang perlu diperbaiki.

Nah bagaimana ? sudah kah wartawan kita memegang pedoman KEJ, setelah pemaparan ini, saya harap kita tergugah, dan merubah prilaku wartawan kita, dengan memulainya dari kita sendiri, apa lagi perkembangan teknologi, menyeret jurnalistik ke Media Online, disini semua orang bebas tanpa batasan bisa menghakimi atau pun berubah menjadi wartawan dadakan yang Free Line, tidak punya lembaga yang mengikatnya, artinya mereka bebas sesuka hati, tanpa Kode Etik yang jelas, Susah membedakan antara Blogger, Web atau pun Jurnalis, karena mereka sama-sama media informasi, dan masyarakat awam pun, bingung dengan menjamurnya media online bak jamur di musim hujan.



Maka,saya menganjurkan selaku praktisi Jurnalistik, bergabunglah dengan PERS MAHASISWA, karena di sana banyak ilmu yang akan kita dapat, bersama mengubah dunia untuk jurnalistik yang baik dan bersih, tanpa menambah atau mengarang apapun, tanpa menipu dan menyesatkan masyarakat, bersikap rendah hati dan bersikap jujur kepada penikmat informasi. Dan di Persma kalian akan temukan kawan-kawan lain dari seluruh Indonesia, dan bahkan dunia, yang lebih dulu dan punya pengalaman yang lebih dari kita, dan kalian nanti akan tau betapa bobroknya Negara kita, dan siapa lagi yang mengubah itu semua, kalau bukan kita.



               

Acuan :
Andreas harsono, 2010. Agama Saya Adalah Jurnalisme (Kanisius)
Bill Kovach & Tom Rosenstiel, 2001. The Element of Jurnalism (New York : Crown)
Buku Serikat Perusahan Pers (SPS),2012. Membangun kebebasan Pers Riau yang bermartabat.
Kumpulan Tulisan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Genda Andalas 2011

2 comments:

  1. tulisan yang sangat mendalam..
    sukses terus buat penulisnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmm makasih ya :) penulis hanya memaparkan realita yg ada :)

      Delete